Jumat, 28 Desember 2007

Pemekaran dan Pelayanan Publik (Kiriman dari Beny Cahyadie A.M)

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local democracy) di pemerintah daerah. Sistem pemerintahan seperti ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah (Koswara, 1998). Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat di era reformasi muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru, baik daerah propinsi maupun kabupaten dan kota. Keinginan seperti itu didasari oleh berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya. Dengan pembentukan daerah otonom baru, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.
Desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial budaya dan ekonomi. Perubahan politik dan sosial budaya di Indonesia dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal (Warsito Utomo,1997). Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Banyaknya tuntutan masyarakat didaerah setelah berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang sudah diperbaharui dengan UU Nomor 32 Taun 2004 untuk mendirikan Provinsi dan Kabupaten/ Kota baru adalah salah satu fenomena menarik untuk dikaji dan dicermati dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Diawali dari pulau Sumatera dengan Provinsi Bangka Belitung dan Kepuluan Riau, Pulau Jawa dengan Provinsi Banten dan Madura, Pulau Sulawesi dengan Provinsi Sulawesi Barat dan Gorontalo, Pulau Maluku dengan Provinsi Maluku Utara, sampai ke Irian (terakhir diganti Papua) dengan Papua Barat, Papua Tengah dan Papua Timur. Dipulau Kalimantanpun sebenarnya pernah dideklarasikan oleh masyarakat untuk pembentukan Provinsi baru di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu Provinsi Kotawaringin Raya (gabungan Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat). Namun kelihatannya baru terbatas sampai wacana dan tidak terekspos secara luas, jadi dalam skala lokal saja. Sehinggga dalam dua tahun terakhir ini tidak kurang dari enam Provinsi baru, dua puluh sembilan Kabupaten dan tiga kota sebagai daerah otonom baru. (H.A Dj. Nihin, 2000). Berbagai alasan dikemukakan untuk menuntut adanya Provinsi dan Kabupaten/ Kota baru itu diantaranya; daerah memiliki potensi yang memadai secara ekonomi untuk membangun daerahnya, ingin mengelola sendiri pembiayaan pembangunan daerahnya atau luasnya wilayah (geografis) daerah dan ingin memberikan pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat serta sejumlah alasan lainnya.
Banyaknya tuntutan ini membuat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Induk sedikit pusing dalam memilah mana yang harus diperhatikan terutama dalam kaitan penyediaan, pembenahan berbagai peraturan pemerintah khususnya yang menyangkut dengan struktur pemerintahan dan DPRD baru bagi daerah yang telah resmi menjadi Provinsi dan Kabupaten/ Kota baru tersebut. (Jurnal Otonomi, 2000). Dalam peraturan pemerintah No.129 tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah, disebutkan bahwa pemekaran daerah berarti pemecahan wilayah daerah yang telah ada, dengan mempertimbangkan berbagai faktor di daerah. Pertimbangan faktor-faktor itu diantaranya; (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah ,(3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Tentunya tuntutan masyarakat untuk membentuk daerah-daerah baru harus mengacu kepada pertimbangan atau kriteria diatas, sebab bila tidak tepat pertimbangan yang diberikan untuk pemekaran daerah hanya akan memberikan makna yang “tidak penting” dan “tidak berarti” bagi masyarakat. Lebih lanjut H.A. Dj. Nihin, sehubungan dengan pemekaran daerah mengatakan bahwa: “Aspirasi memekarkan daerah itu atas dasar pertimbangan yang tepat, misalnya dengan pemekaran daerah pusat pemerintahan dan pelayanan semakin dekat dengan masyarakat, partisipasi masyarakat akan bertambah dan lebih intensif dalam kehidupan kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan didaerahnya. Sedangkan bila timbulnya aspirasi itu lebih karena emosional, primordialisme dan semata-mata hanya ingin menjadi daerah otonom sendiri, tidak atas dasar persyaratan yang tepat, tidak memperhitungkan potensi sumber daya yang ada, akan mempersulit kondisi masyarakat daerah tersebut, dan tidak akan menjamin pengembangan daerah kearah yang lebih baik, bahkan melemahkan tingkat ketahanan wilayah karena akan mendatangkan berbagai beban dan persoalan “.(H.A Dj Nihin, 2000). Persoalannya adalah apakah tuntutan pemekaran daerah ini benar-benar kebutuhan daerah yang mendesak atau hanya keinginan segelintir kelompok elit lokal dengan motivasi menguasai sumber-sumber resources daerah.
Melihat luasnya wilayah negara Indonesia nampaknya pemekaran daerah memang terkait erat dengan kebutuhan daerah yang mendesak tadi yaitu dengan indikator ingin lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat proses pembangunan, dan melibatkan lebih banyak masyarakat kepada urusan-urusan untuk publik. Dari sekian banyak daerah yang menuntut untuk membentuk daerah baru adalah Kabupaten Kotawaringin Timur di Provinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan ini bukanlah didasari atas euforia otonomi daerah atau primordialisme, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang logis sebagaimana daerah lain yang lebih dahulu resmi menjadi Kabupaten baru.
Dengan luas wilayah 50.700 km² (± 1,5 kali Provinsi Jawa Timur) dan penyebaran penduduk yang tidak merata berjumlah 521.287 jiwa (BPS Kab. Kotim, 2000) sangat dirasakan dari aspek pelayanan masyarakat perlu dijawab dengan adanya pemekaran daerah pemerintah Kabupaten. Disamping luas wilayah, perkembangan ekonomi daerah Kabupaten Kotawaringin Timur juga cukup baik. Dimana pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari perkembangan PDRB antara tahun 1995-2000 secara sektoral terlihat pada tabel berikut :
Tabel I – 1 Rata-rata laju pertumbuhan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 1993, selama tahun 1995 – 2000 (%)
No Lapangan Usaha 1995 1996 1997 1998 1999 2000
1. Pertanian, Peternakan, kehutanan dan Perikanan 7,28 13,96 4,93 (0,11) 1,02 3,25
2. Pertambangan dan Penggalian 121,60 20,97 2,37 0,48 (17,83) 2,54
3. Industri pengolahan 16,89 11,93 4,28 (16,94) (4,75) 1,53
4. Listrik, Gas dan Air minum 24,42 19,58 7,78 14,24 (7,88) 5,75
5. Bangunan/Konstruksi 10,78 19,61 (0,24) (22,93) (5,44) 0,41
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 10,56 5,17 4,48 (5,32) 1,09 3,92
7. Pengangkutan dan komunikasi 15,42 15,52 32,39 1,64 5,28 2,11
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 11,89 19,58 2,60 (33,38) 1,11 4,28
9. Jasa-jasa (0,50) 3,96 2,13 2,18 1,57 1,59
Laju Pertumbuhan Ekonomi 9,95 11,92 6,60 (5,01) 0,60 2,86
Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Kotim Tahun 2000
Sebelum terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 pertumbuhan ekonomi daerah cenderung naik dan dicatat sebesar 11,92% pada tahun 1996. Selanjutnya ketika krisis langsung menurun dan sangat terasa pada tahun 1998 pertumbuhan bahkan minus 5,01%. Namun dua tahun terakhir kecenderungan membaik terlihat dimana sudah positif semua, walaupun masih jauh bila dibandingkan 5 (lima) tahun sebelumnya. Begitu juga perkembangan pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya pula pada tahun 2000 dan 2001 yang meningkat tajam seiring dimulainya era otonomi daerah. Tahun 2000 Pendapatan Asli Daerah ditargetkan Rp 4.790.166.225 dan terealisasi sebesar Rp. 6.275.497,795 (131,01). Selanjutnya pada tahun 2001 target ditetapkan sebesar Rp. 44.346.939.501 terealisasi sebesar 109.085.002.514 (245,98%). (Dipenda Kab. Kotim, 2002) Daerah ini telah diusulkan untuk dimekarkan atau peningkatan status administratif wilayah Pembantu Bupati Katingan dan Pembantu Bupati Seruyan (saat berlakunya UU No.5 tahun1994) menjadi Kabupaten Katingan dan Kabupaten Seruyan.
Perkembangan terakhir dari usulan ini adalah telah disetujui oleh sidang Paripurna DPR-RI, yang berlangsung dari tanggal 7 s/d 18 Maret 2002 (Kompas, 25 Februari 2002). Selanjutnya dengan persetujuan tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan (Ex Pembantu Bupati Wilayah Katingan) dan Kabupaten Seruyan (Ex Pembantu Bupati Wilayah Seruyan) di Kabupaten Kotawaringin Timur. Sesuai perkembangan terakhir dari usulan tersebut bahwa telah disetujui pembentukan Kabupaten baru di Kabupaten Kotawaringin Timur yaitu Kabupaten Katingan dan Kabupaten Seruyan. Lahirnya kebijakan Pemerintah ini tentunya membawa dampak bagi Kabupaten Kotawaringin Timur sebagai Kabupaten Induk maupun bagi dua Kabupaten baru, misalnya berubahnya luas dan tata batas daerah, berkurangnya penerimaan pendapatan daerah khususnya bagi Kabupaten Induk, dan dekatnya pusat pelayanan kepada masyarakat. Atau dengan kata lain akan ada dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Lebih jauh mengenai dampak Wibawa, mengatakan : “Dalam kaitannya dengan dampak perlu dipahami antara dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Diantara dampak-dampak yang diduga akan terjadi ini, ada dampak yang diharapkan dan ada yang tidak diharapkan. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul pula dampak-dampak yang tidak terduga” (Samodra Wibawa, dkk; 1994, 29-30) Dengan disetujuinya pemekaran daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur, yaitu bertambahnya dua Kabupaten baru (Katingan dan Seruyan) tentu membawa dampak atau perubahan di daerah ini yang dirasakan oleh Pemerintah dan masyarakat. Perubahan tersebut yang semula Kabupaten Kotawaringin Timur dengan Ibukota Sampit dengan luas wilayah 50.700 km2, jumlah penduduk 521.287 jiwa yang mencakup tiga jalur sungai besar (Sungai Katingan, Sungan Mentaya dan Sungai Seruyan) dan Kecamatan sebanyak 26 (duapuluh enam) Kecamatan, terbagi menjadi 3 Daerah sbb :
1. Kabupaten Kotawaringin Timur, berada di jalur sungai Mentaya dengan Ibukota Sampit, dengan luas wilayah 16.496 km2, jumlah penduduk (Sensus Penduduk 2000), 308.203 jiwa dan jumlah Kecamatan ada 10 (sepuluh) Kecamatan.
2. Kabupaten Katingan, berada di jalur Sungai Katingan dengan Ibukota Kasongan (yang dulunya disebut wilayah pembantu Bupati Katingan). luas wilayah 17.800 km2, jumlah penduduk (Sensus Penduduk 2000) sebanyak 120.649 jiwa dan Kecamatan sebanyak 11 (sebelas) kecamatan.
3. Kabupaten Seruyan, berada di jalur Sungai Seruyan dengan ibukota Kuala Pembuang (yang dulunya disebut wilayah Pembantu Bupati Seruyan), luas wilayah 16.404 km2, jumlah penduduk (Sensus Penduduk 2000) sebanyak 92.390 jiwa dan Kecamatan sebanyak 5 (lima) Kecamatan. Dari gambaran keadaan masalah diatas, yaitu tuntutan pemekaran daerah atas dua wilayah pembantu Bupati (Katingan dan Seruyan) dengan alasan luasnya wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur dan perkembangan ekonomi daerah yang cukup signifikan telah direspon positif oleh Pemerintah Pusat.
Kebijakan ini sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 adalah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui;
(1) peningkatan pelayanan,
(2) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi,
(3) percepatan pertumbuhan atau pembangunan daerah,
(4) percepatan pengelolaan potensi daerah,
(5) peningkatan ketertiban dan keamanan, dan
(6) peningkatan hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Berangkat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat inilah selanjutnya dirumuskan permasalahan kebijakan pemekaran daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur. Sebagaimana di kemukakan diatas bahwa, kebijakan pemekaran daerah membawa dampak bagi Kabupaten yang baru dimekarkan dalam bidang pelayanan publik.

Tidak ada komentar: