Jumat, 28 Desember 2007

Pemekaran dan Pelayanan Publik (Kiriman dari Beny Cahyadie A.M)

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local democracy) di pemerintah daerah. Sistem pemerintahan seperti ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah (Koswara, 1998). Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat di era reformasi muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru, baik daerah propinsi maupun kabupaten dan kota. Keinginan seperti itu didasari oleh berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya. Dengan pembentukan daerah otonom baru, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.
Desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial budaya dan ekonomi. Perubahan politik dan sosial budaya di Indonesia dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal (Warsito Utomo,1997). Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Banyaknya tuntutan masyarakat didaerah setelah berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang sudah diperbaharui dengan UU Nomor 32 Taun 2004 untuk mendirikan Provinsi dan Kabupaten/ Kota baru adalah salah satu fenomena menarik untuk dikaji dan dicermati dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Diawali dari pulau Sumatera dengan Provinsi Bangka Belitung dan Kepuluan Riau, Pulau Jawa dengan Provinsi Banten dan Madura, Pulau Sulawesi dengan Provinsi Sulawesi Barat dan Gorontalo, Pulau Maluku dengan Provinsi Maluku Utara, sampai ke Irian (terakhir diganti Papua) dengan Papua Barat, Papua Tengah dan Papua Timur. Dipulau Kalimantanpun sebenarnya pernah dideklarasikan oleh masyarakat untuk pembentukan Provinsi baru di Provinsi Kalimantan Tengah yaitu Provinsi Kotawaringin Raya (gabungan Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat). Namun kelihatannya baru terbatas sampai wacana dan tidak terekspos secara luas, jadi dalam skala lokal saja. Sehinggga dalam dua tahun terakhir ini tidak kurang dari enam Provinsi baru, dua puluh sembilan Kabupaten dan tiga kota sebagai daerah otonom baru. (H.A Dj. Nihin, 2000). Berbagai alasan dikemukakan untuk menuntut adanya Provinsi dan Kabupaten/ Kota baru itu diantaranya; daerah memiliki potensi yang memadai secara ekonomi untuk membangun daerahnya, ingin mengelola sendiri pembiayaan pembangunan daerahnya atau luasnya wilayah (geografis) daerah dan ingin memberikan pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat serta sejumlah alasan lainnya.
Banyaknya tuntutan ini membuat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Induk sedikit pusing dalam memilah mana yang harus diperhatikan terutama dalam kaitan penyediaan, pembenahan berbagai peraturan pemerintah khususnya yang menyangkut dengan struktur pemerintahan dan DPRD baru bagi daerah yang telah resmi menjadi Provinsi dan Kabupaten/ Kota baru tersebut. (Jurnal Otonomi, 2000). Dalam peraturan pemerintah No.129 tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah, disebutkan bahwa pemekaran daerah berarti pemecahan wilayah daerah yang telah ada, dengan mempertimbangkan berbagai faktor di daerah. Pertimbangan faktor-faktor itu diantaranya; (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah ,(3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Tentunya tuntutan masyarakat untuk membentuk daerah-daerah baru harus mengacu kepada pertimbangan atau kriteria diatas, sebab bila tidak tepat pertimbangan yang diberikan untuk pemekaran daerah hanya akan memberikan makna yang “tidak penting” dan “tidak berarti” bagi masyarakat. Lebih lanjut H.A. Dj. Nihin, sehubungan dengan pemekaran daerah mengatakan bahwa: “Aspirasi memekarkan daerah itu atas dasar pertimbangan yang tepat, misalnya dengan pemekaran daerah pusat pemerintahan dan pelayanan semakin dekat dengan masyarakat, partisipasi masyarakat akan bertambah dan lebih intensif dalam kehidupan kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan didaerahnya. Sedangkan bila timbulnya aspirasi itu lebih karena emosional, primordialisme dan semata-mata hanya ingin menjadi daerah otonom sendiri, tidak atas dasar persyaratan yang tepat, tidak memperhitungkan potensi sumber daya yang ada, akan mempersulit kondisi masyarakat daerah tersebut, dan tidak akan menjamin pengembangan daerah kearah yang lebih baik, bahkan melemahkan tingkat ketahanan wilayah karena akan mendatangkan berbagai beban dan persoalan “.(H.A Dj Nihin, 2000). Persoalannya adalah apakah tuntutan pemekaran daerah ini benar-benar kebutuhan daerah yang mendesak atau hanya keinginan segelintir kelompok elit lokal dengan motivasi menguasai sumber-sumber resources daerah.
Melihat luasnya wilayah negara Indonesia nampaknya pemekaran daerah memang terkait erat dengan kebutuhan daerah yang mendesak tadi yaitu dengan indikator ingin lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat proses pembangunan, dan melibatkan lebih banyak masyarakat kepada urusan-urusan untuk publik. Dari sekian banyak daerah yang menuntut untuk membentuk daerah baru adalah Kabupaten Kotawaringin Timur di Provinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan ini bukanlah didasari atas euforia otonomi daerah atau primordialisme, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang logis sebagaimana daerah lain yang lebih dahulu resmi menjadi Kabupaten baru.
Dengan luas wilayah 50.700 km² (± 1,5 kali Provinsi Jawa Timur) dan penyebaran penduduk yang tidak merata berjumlah 521.287 jiwa (BPS Kab. Kotim, 2000) sangat dirasakan dari aspek pelayanan masyarakat perlu dijawab dengan adanya pemekaran daerah pemerintah Kabupaten. Disamping luas wilayah, perkembangan ekonomi daerah Kabupaten Kotawaringin Timur juga cukup baik. Dimana pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari perkembangan PDRB antara tahun 1995-2000 secara sektoral terlihat pada tabel berikut :
Tabel I – 1 Rata-rata laju pertumbuhan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 1993, selama tahun 1995 – 2000 (%)
No Lapangan Usaha 1995 1996 1997 1998 1999 2000
1. Pertanian, Peternakan, kehutanan dan Perikanan 7,28 13,96 4,93 (0,11) 1,02 3,25
2. Pertambangan dan Penggalian 121,60 20,97 2,37 0,48 (17,83) 2,54
3. Industri pengolahan 16,89 11,93 4,28 (16,94) (4,75) 1,53
4. Listrik, Gas dan Air minum 24,42 19,58 7,78 14,24 (7,88) 5,75
5. Bangunan/Konstruksi 10,78 19,61 (0,24) (22,93) (5,44) 0,41
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 10,56 5,17 4,48 (5,32) 1,09 3,92
7. Pengangkutan dan komunikasi 15,42 15,52 32,39 1,64 5,28 2,11
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 11,89 19,58 2,60 (33,38) 1,11 4,28
9. Jasa-jasa (0,50) 3,96 2,13 2,18 1,57 1,59
Laju Pertumbuhan Ekonomi 9,95 11,92 6,60 (5,01) 0,60 2,86
Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Kotim Tahun 2000
Sebelum terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 pertumbuhan ekonomi daerah cenderung naik dan dicatat sebesar 11,92% pada tahun 1996. Selanjutnya ketika krisis langsung menurun dan sangat terasa pada tahun 1998 pertumbuhan bahkan minus 5,01%. Namun dua tahun terakhir kecenderungan membaik terlihat dimana sudah positif semua, walaupun masih jauh bila dibandingkan 5 (lima) tahun sebelumnya. Begitu juga perkembangan pendapatan Asli Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya pula pada tahun 2000 dan 2001 yang meningkat tajam seiring dimulainya era otonomi daerah. Tahun 2000 Pendapatan Asli Daerah ditargetkan Rp 4.790.166.225 dan terealisasi sebesar Rp. 6.275.497,795 (131,01). Selanjutnya pada tahun 2001 target ditetapkan sebesar Rp. 44.346.939.501 terealisasi sebesar 109.085.002.514 (245,98%). (Dipenda Kab. Kotim, 2002) Daerah ini telah diusulkan untuk dimekarkan atau peningkatan status administratif wilayah Pembantu Bupati Katingan dan Pembantu Bupati Seruyan (saat berlakunya UU No.5 tahun1994) menjadi Kabupaten Katingan dan Kabupaten Seruyan.
Perkembangan terakhir dari usulan ini adalah telah disetujui oleh sidang Paripurna DPR-RI, yang berlangsung dari tanggal 7 s/d 18 Maret 2002 (Kompas, 25 Februari 2002). Selanjutnya dengan persetujuan tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan (Ex Pembantu Bupati Wilayah Katingan) dan Kabupaten Seruyan (Ex Pembantu Bupati Wilayah Seruyan) di Kabupaten Kotawaringin Timur. Sesuai perkembangan terakhir dari usulan tersebut bahwa telah disetujui pembentukan Kabupaten baru di Kabupaten Kotawaringin Timur yaitu Kabupaten Katingan dan Kabupaten Seruyan. Lahirnya kebijakan Pemerintah ini tentunya membawa dampak bagi Kabupaten Kotawaringin Timur sebagai Kabupaten Induk maupun bagi dua Kabupaten baru, misalnya berubahnya luas dan tata batas daerah, berkurangnya penerimaan pendapatan daerah khususnya bagi Kabupaten Induk, dan dekatnya pusat pelayanan kepada masyarakat. Atau dengan kata lain akan ada dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Lebih jauh mengenai dampak Wibawa, mengatakan : “Dalam kaitannya dengan dampak perlu dipahami antara dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Diantara dampak-dampak yang diduga akan terjadi ini, ada dampak yang diharapkan dan ada yang tidak diharapkan. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul pula dampak-dampak yang tidak terduga” (Samodra Wibawa, dkk; 1994, 29-30) Dengan disetujuinya pemekaran daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur, yaitu bertambahnya dua Kabupaten baru (Katingan dan Seruyan) tentu membawa dampak atau perubahan di daerah ini yang dirasakan oleh Pemerintah dan masyarakat. Perubahan tersebut yang semula Kabupaten Kotawaringin Timur dengan Ibukota Sampit dengan luas wilayah 50.700 km2, jumlah penduduk 521.287 jiwa yang mencakup tiga jalur sungai besar (Sungai Katingan, Sungan Mentaya dan Sungai Seruyan) dan Kecamatan sebanyak 26 (duapuluh enam) Kecamatan, terbagi menjadi 3 Daerah sbb :
1. Kabupaten Kotawaringin Timur, berada di jalur sungai Mentaya dengan Ibukota Sampit, dengan luas wilayah 16.496 km2, jumlah penduduk (Sensus Penduduk 2000), 308.203 jiwa dan jumlah Kecamatan ada 10 (sepuluh) Kecamatan.
2. Kabupaten Katingan, berada di jalur Sungai Katingan dengan Ibukota Kasongan (yang dulunya disebut wilayah pembantu Bupati Katingan). luas wilayah 17.800 km2, jumlah penduduk (Sensus Penduduk 2000) sebanyak 120.649 jiwa dan Kecamatan sebanyak 11 (sebelas) kecamatan.
3. Kabupaten Seruyan, berada di jalur Sungai Seruyan dengan ibukota Kuala Pembuang (yang dulunya disebut wilayah Pembantu Bupati Seruyan), luas wilayah 16.404 km2, jumlah penduduk (Sensus Penduduk 2000) sebanyak 92.390 jiwa dan Kecamatan sebanyak 5 (lima) Kecamatan. Dari gambaran keadaan masalah diatas, yaitu tuntutan pemekaran daerah atas dua wilayah pembantu Bupati (Katingan dan Seruyan) dengan alasan luasnya wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur dan perkembangan ekonomi daerah yang cukup signifikan telah direspon positif oleh Pemerintah Pusat.
Kebijakan ini sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 adalah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui;
(1) peningkatan pelayanan,
(2) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi,
(3) percepatan pertumbuhan atau pembangunan daerah,
(4) percepatan pengelolaan potensi daerah,
(5) peningkatan ketertiban dan keamanan, dan
(6) peningkatan hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Berangkat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat inilah selanjutnya dirumuskan permasalahan kebijakan pemekaran daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur. Sebagaimana di kemukakan diatas bahwa, kebijakan pemekaran daerah membawa dampak bagi Kabupaten yang baru dimekarkan dalam bidang pelayanan publik.

Jumat, 14 Desember 2007

Otonomi Daerah (forward dari Beny Cahyadie A.M)

Otonomi Daerah dan Diskursus Pemekaran Wilayah Perbincangan diseputar wacana pemekaran wilayah (kabupaten/kota dan provinsi), akhir-akhir ini merupakan salah satu tema politik yang menggelembung dimasyarakat. Pergolakan seputar diskursus tentang pemekaran wilayah bahkan sudah sangat mengkristal dan mewacana dengan cepat, tajam, dan menimbulkan friksi politik yang keras. Maka tak heran isu ini menjadi bak bola salju, yang kian menggelinding khususnya dalam zona politik lokal bernama pemilihan kepala daerah (pilkada). Harus kita akui, bahwa ramainya perbincangan seputar pemekaran wilayah tersebut, sesungguhnya tidak terlepas dari keinginan kuat dari masyarakat lokal untuk mengadakan perubahan. Perubahan yang diarahkan melalui usaha-usaha pensejahteraan rakyat.
Maka selanjutnya, isu ini pun bersinergi dengan proses politik yang terjadi di republik ini. Misalnya ketika kampanye politik oleh para politisi yang sangat berkepentingan dalam meraup dukungan publik, baik dalam pemilu legislatif, pemilu presiden dan bahkan dalam pilkada yang lalu. Salah satu bentuk dari isu kampanye politik itu adalah dengan menyuarakan perlunya kesejahteraan rakyat untuk semakin ditingkatkan. Akan tetapi, isu ini kemudian disambut oleh kekuatan-kekuatan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Apakah itu tokoh masyarakat, kalangan kampus, maupun kelompok-kelompok pemuda dan kedaerahan. Sialnya, berkembangnya isu ini di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak ditimpali oleh elit-elit politik secara kelembagaan dengan mantap. Karena itu, isu ini kemudian bak bertepuk sebelah tangan. Boleh kita lihat, misalnya bahwa kekuatan yang paling consern terhadap pemekaran wilayah tersebut bukanlah para elit politik, melainkan kekuatan yang ada di masyarakat. Karena itu, sekalipun tekanan-tekanan isu tentang pemekaran ini besar seperti sekarang ini, itu adalah hasil dari kerja-kerja politik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat.
Sebagaimana isu lain yang nilai orisinalnya bersumber dari publik, maka isu pemekaran ini pun memiliki bentuk dan formulasi yang beraneka ragam. Beragam dan bervariasinya bentuk formulasi tersebut sangat berkaitan dengan corak masyarakat yang menyuarakannya. Sebagai sebuah isu yang menggelepas di masyarakat, tentunya berbagai pandangan datang menghampirinya. Isu ini pun menjadi bola panas. Perdebatan-perdebatan panjang kemudian digelar. Namun tetap tak bertepi. Hal inilah yang kemudian memunculkan problema pro dan yang kontra di masyarakat. Sebetulnya, perbedaan pendapat ini amatlah lumar, terutama dikaitkan dengan proses perkembangan demokrasi di tanah air. Akan tetapi perbedaan pendapat ini haruslah ditata, diformulasikan, sehingga berakhir dengan suatu kebahagiaan bersama. Kemudian timbul pertanyaan, apakah pemekaran wilayah adalah langkah yang tidak terpisahkan atau setidaknya didasarkan kepada keinginan untuk mensejahterakan rakyat? Atau apakah ini justru isu yang hanya permainan politik dari elit politik yang berkicau pada saat kampanye politik pada pemilu yang lalu. Tak ada jawaban secara pasti, hal ini memang patut dikritisi, akan tetapi aroma kesejahteraan rakyat begitu melekat kuat dalam isu ini. Karena itu, harus tetap diperjuangkan dan disuarakan dengan tanpa henti-hentinya.
Berkembangnya wacana pemekaran daerah, tidak terlepas dari pemberlakuan prinsip-prinsip otonomi daerah. Secara eksplisit didalam UU otonomi daerah tahun 2004, memang telah dengan jelas diamanatkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik. Pertama, otonomi daerah haruslah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Kedua, melalui otonomi daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik. Ketiga, bagaimana otonomi daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Sesungguhnya, sebelum isu pemekaran wilayah ini dikristalkan, ada beberapa hal yang harus menjadi media mengkritisinya. Media itu adalah dengan melihat indikator keberhasilan pembangunan daerah selama penerapan otonomi daerah, yang telah berusia enam tahun ini, sekaligus menjadi dasar dalam melakukan pemekaran. Secara sederhana, indikator didalam menilai kemajuan tersebut harus disandarkan kepada tiga aspek/kategori. Pertama, aspek ekonomi daerah. Apakah pembangunan yang terjadi selama enam tahun terakhir ini adalah pembangunan yang merangsang pertumbuhan ekonomi di masyarakat lokal. Hal ini perlu dijalankan dengan melakukan kajian mendalam, sehingga kelihatanlah seberapa besar pengaruh otonomi daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun secara regional, untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian akan bisa kita ketahui bahwa apakah otonomi daerah selaras dengan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Seperti apakah kekuatan ekonomi dari daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah yang hendak dimekarkan. Selanjutnya, potensi-potensi apa yang bisa dimaksimalkan dalam membangun ekonomi daerah. Ini perlu dilakukan, mengingat pertimbangan ekonomi adalah salah satu unsur utama didalam memandirikan suatu daerah. Kedua, aspek pelayanan publik. Dalam konteks ini, harus dinilai seberapa dekat pemerintah daerah dengan masyarakat, yang tercermin dalam urusan-urusan pelayanan publik yang terbuka, efisien dan efektif. Apakah publik merasa dipuaskan melalui pelayanan pemerintah lokal, atau justru pemerintah lokal mengharapkan pelayanan dari masyarakat. Apakah mental-mental KKN dan primordialisme masih sangat kental dalam urusan-urusan publik. Masih terdapat ketidakadilan, kemudian politik kongkalikong di antara elit lokal masih kerap terjadi. Ketiga, aspek pembangunan demokrasi politik.
Menjadi penting juga mengkaitkan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan upaya-upaya pelembagaan demokrasi ditingkat lokal. Potret ini bisa terlihat dari beberapa kritiskah rakyat dalam melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal? Atau seberapa besarkah kontribusi dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan strategis di daerahnya ? Singkatnya, semangat untuk ber-otonomi daerah jangan seolah-olah menjadi hilang ditelan wacana pemekaran. Optimisme yang dulunya menggelembung-dimana otonomi daerah, pilkada dan pluralisme adalah suatu yang saling bersinergi-perlahan jangan sampai mengempis. Desentralisasi (otonomi daerah) akhirnya menjadi pilihan absolut, yang hampir tak ada kekuatan yang membantahnya. Jadilah isu otonomi daerah menjadi tema yang sentral dalam jagat perpolitikan kita, namun seolah ambigu di tengah gumpalan politik pemekaran. Akan tetapi, kini, hakikat otonomi daerah harus terimplementasi dengan baik, bukan malah berputar di arena wacana termasuk wacana pemekaran daerah. Sumber (Oscar Siagian,pengamat politik KDAS)

Rabu, 28 November 2007

Kenapa Harus Ada “Propinsi Kotawaringin”, Sebuah tinjauan SWOT Analysis

Luas Propinsi Kalimantan Tengah yang 153.800 Km2 (hampir 1,5x pulau jawa) dengan hanya 14 Kabupaten ditambah lagi dengan posisi ibukota Palangkaraya yang tidak dilalui Transportasi Laut, mengakibatkan Propinsi ini pertumbuhannya kalah bersaing dibandingkan 3 saudaranya di Kalimantan yaitu Kaltim, Kalsel dan Kalbar, apalagi bila dibandingkan dengan Propinsi di Sumatera, Sulawesi dan Jawa. Sedangkan luas Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, Kotawaringin Barat, Sukamara dan Lamandau bila digabung menjadi Propinsi Kotawaringin adalah 2 kali luas Propinsi Jawa Timur. Jadi syarat jumlah Kabupaten dan luas wilayah secara geografis teritorial terpenuhi untuk adanya sebuah propinsi baru, yaitu Propinsi Kotawaringin, dengan minimal 5 Kabupaten.
Akhir-akhir ini semakin marak tuntutan dibentuknya Propinsi Kotawaringin yang terdiri dari Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, Kotawaringin Barat, Sukamara dan Lamandau. Semoga saja tuntutan ini benar-benar dari akar rumput atau keinginan masyarakat kabupaten tersebut, bukan hanya kaum elit lokal semata yang ingin bagi-bagi kekuasaan, agar kekuasaaan mereka tetap langgeng. Lalu, kenapa Kabupaten Katingan tidak termasuk yang menyuarakan Kotawaringin, padahal Kabupaten ini adalah hasil pemekaran Kabupaten Kotawaringin Timur.

Strength
Sejarah
Sampit sudah disebut merupakan salah satu daerah yang pernah dikunjungi Patih Gajah Mada dari Majapahit dalam kitab “Negara Kertagama” karangan Mpu Prapanca pada abad ke-13, Selain itu juga pernah berdiri Kerajaan Sungai Sampit pada abad ke 13 di Sungai Sampit. Setelah Kerajaan Sungai Sampit tidak ada, berdiri pula Kesultanan Sampit selanjutnya. Bendera Kesultanan Sampit dapat dilihat pada link situs berikut :
http://www.crwflags.com/fotw/flags/id-sampi.html
Selain itu pernah lahirnya Kodam Tambun Bungai di Sampit ketika awal kemerdekaan RI, merupakan bukti kokohnya sejarah dan keterikatan wilayah Kotawaringin.
Sedangkan Pangkalanbun yang merupakan ibukota Kotawaringin Barat adalah bekas ibukota Kerajaan Kotawaringin pada abad ke-16 yang merupakan pecahan dari Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan.
Lalu kenapa Sampit atau Pangkalanbun tidak dijadikan ibukota Propinsi Kalimantan Tengah saat didirikan tahun 1958, melainkan Palangkaraya, padahal Sampit dan Pangkalanbun lebih dulu ada ? Palangkaraya dijadikan ibukota Kalimantan Tengah adalah menyesuaikan perencanaan Ir. Sukarno, Presiden RI saat itu, untuk menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota pemerintahan Negara, sementara Jakarta sebagai ibukota ekonomi dan bisnis, yang kemudian ternyata Palangkaraya tidak jadi ibukota pemerintahan RI. Ambisi ini sebenarnya meniru Amerika Serikat dengan Washington sebagai ibukota Pemerintahan, sementara pusat ekonomi dan bisnis adalah New York. Belakangan yang berhasil menerapkan ini adalah Malaysia dengan ibukota pemerintahan pindah ke PuteraJaya, sedangkan pusat ekonomi dan bisnis adalah Kuala Lumpur.
Jadi, dari sisi sejarah, Sampit dan Pangkalanbun jelas lebih dulu ada dan berkembang dibandingkan Propinsi Kalimantan Tengah yang berdiri tahun 1958 dengan ibukotanya Palangkaraya yang dulu hanya merupakan Kecamatan Pahandut.

Perdagangan
Kota Sampit dan Pangkalanbun mempunyai Jalur Pelabuhan Laut yang memudahkan arus barang masuk, sehingga memudahkan dalam perdagangan, sedangkan Palangkaraya tidak memiliki Pelabuhan Laut, dimana arus barang melalui Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (ini menjadi Pendapatan bagi Kalsel), hal ini mengakibatkan harga-harga sembako di Palangkaraya tinggi yang merupakan barometer bagi Kalteng. Mayoritas ibukota Negara di dunia mempunyai Pelabuhan Laut, demikian pula dengan ibukota Propinsi di Indonesia, hanya Bandung, Yogyakarta dan Palangkaraya yang tidak dilalui Pelabuhan Laut. Bandung dan Yogyakarta lebih maju dari Palangkaraya, karena usianya sudah lebih dari 200 tahun jadi wajar saja. Makanya untuk Palangkaraya supaya maju seperti Bandung dan Yogyakarta, bisa jadi secara matematis memerlukan waktu 150 tahun (200 dikurangi usia Palangkaraya 50), ini tentunya hal yang tidak menguntungkan Bagi Sampit dan Pangkalanbun selagi masih di bawah Kalimantan Tengah. Pelabuhan laut adalah salah satu sarana penting perdagangan untuk Kemajuan suatu daerah atau kawasan.
Perkembangan terakhir, Bandara H. Asan Sampit telah membuka Jalur Penerbangan Jakarta-Sampit PP walaupun baru 3x seminggu. Jadi untuk urusan bisnis ke Jakarta, tidak perlu lagi ke Palangkaraya, cukup lewat Sampit.

Ekonomi
Efek domino dari adanya Pelabuhan laut di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat, adalah kedua Kabupaten ini merupakan penyumbang PAD terbesar Propinsi Kalimantan Tengah dibandingkan Kabupaten lainnya yang ada di Kalteng. Selain itu maraknya investasi Perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan di daerah Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat semakin mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan ini. Kemajuan ekonomi, merupakan salah satu modal utama terbentuknya Propinsi Kotawaringin.

Weakness
Propinsi Kotawaringin belum memiliki dukungan elit politik dari pusat, minimal untuk sandaran politik. Bercermin terbentuknya Propinsi Bangka Belitung, mereka punya Yusril Ihza Mahendra (Menteri Kabinet, pada saat terbentuk Propinsi Babel). Propinsi Kepulauan Riau, mereka punya Ismeth Abdullah (Sebelum jadi Gubernur Kepri adalah Ketua Otorita Batam dan Direktur Utama Badan Bantuan Ekspor), Propinsi Kepri ini memiliki Batam, merupakan segitiga emas industri Kawasan Terpadu Sijori (Singapura, Johor dan Riau) . Propinsi Sulawesi Barat, mereka cukup dekat dengan Yusuf Kalla (wapres). Propinsi Gorontalo, mereka punya Fadel Muhammad (Chairman PT. Bukaka Teknik Jakarta dan Bendahara Golkar Pusat), yang sekarang sukses memimpin Gorontalo (Fadel Muhammad kemudian dianugerahi gelar Doktor Kehormatan oleh UGM tanpa melalui Pasca Sarjana S2 karena keberhasilannya mengangkat nasib nelayan Gorontalo dengan meningkatkan harga ikan di nelayan pertama dari Rp 2.500 menjadi Rp 17.500 dan menjadikan jagung sebagai komiditi utama dengan kualitas ekspor, sehingga nasib nelayan dan petani terangkat sebagai orang kaya baru, jadi gelar S2 atau S3 bukan dibeli atau diraih dengan mudah, seperti dilakukan banyak pejabat daerah saat ini, tapi didapatkan dari prestasi, sehingga kualitas gelar S2 dan S3 dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya embel-embel untuk naik pangkat, yang minim kualitas dan daya analisa). Propinsi Banten, mereka punya banyak elit politik di pusat, sebut saja misalnya salah satu penggagas Propinsi Banten adalah anggota DPR-RI saat itu Alm. Ekky Syahruddin, tokoh Banten lainnya adalah mantan menkoekuin Dorojatun Kuncorojakti yang juga mantan Dekan Fakultas Ekonomi UI. Propinsi Papua Barat, mereka punya Freddy Numbery (Menteri Kelautan). Propinsi Kotawaringin tidak punya siapa-siapa, mengingat minimnya orang Kalteng khususnya Kotawaringin yang berkarir politik dan berbisnis di Jakarta dan dapat diperhitungkan di tingkat Nasional. Kalaupun ada, bisa jadi anggota DPR-RI yang asli Kotawaringin hanyut dengan empuknya kursi DPR-RI, sehingga tidak ada suaranya untuk membela kampung halaman. Adanya seorang atau lebih tokoh, adalah penting untuk lobby politik.
Gerakan pemuda dan mahasiswa dari Sampit, Pangkalanbun, Kuala Pembuang, Sukamara dan Lamandau belum ada yang berani mengorganisir dan mengadakan demonstrasi di DPR-RI Jakarta, agar wacana “Propinsi Kotawaringin” menjadi perhatian untuk dibahas di DPR-RI, bukan hanya dalam bentuk klipping koran. Kembali bercermin sebelum terbentuknya Propinsi Babel, Kepri, Gorontalo, Sulbar, Banten dan Papua Barat, mahasiswa dan pemudanya mengadakan demonstrasi di DPR-RI untuk menunjukan eksistensi perjuangan apa yang dicita-citakan, seperti yang penulis saksikan melalui TV dan surat kabar waktu itu. Adanya demonstrasi pemuda dan mahasiswa dari Sampit, Pangkalanbun, Kuala Pembuang, Sukamara dan Lamandau adalah penting agar suara Propinsi Kotawaringin tidak hanya lokal dan bersifat marginal saja, tapi kedengaran sampai DPR-RI. Bila sudah masuk bahasan DPR-RI di Komisi II yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara, dan Agraria, barulah disini bicara lobby politik dan ekonomi. Informasi tidak resmi yang penulis dapatkan di lapangan menyebutkan, untuk membentuk Propinsi baru dibutuhkan dana sekian M dan sekian M untuk para pembuat Undang-Undang tersebut. Propinsi Baru identik dengan Proyek Baru, sehingga bukan rahasia umum lagi, dibutuhkan dana untuk menggolkan proyek tersebut.
Belum adanya demonstrasi dari pemuda dan mahasiswa dari Sampit, Pangkalanbun, Kuala Pembuang, Sukamara dan Lamandau, terjadi karena kebanyakan umumnya orang kita di Kalteng melanjutkan studi kebanyakan di Yogyakarta, Semarang, Malang dan Surabaya, sedikit sekali yang berani studi di Jabodetabek dan Jawa Barat, sehingga untuk Demo di Jakarta mungkin ongkosnya mahal, dan mereka tidak tahu medannya bagaimana. Jangan pun untuk demo di DPR-RI, jangan-jangan pas di Jakarta malah tidak tahu jalan dan ditipu sopir taksi dengan argo kuda. Bahkan ada pameo bagi pendatang baru :”Ini Jakarta bung, kejamnya ibutiri tak sekejam ibukota Jakarta” Bahkan, Bang Yos mantan gubernur Jakarta pernah berkata : “Jakarta adalah tempat berkumpulnya para macan”. Selain itu, mahasiswa dari Kotawaringin inipun setelah lulus dari Jawa umumnya pulang kembali ke Kalimantan untuk melamar jadi PNS dengan status “fresh graduate”, bukannya mencari pengalaman kerja dulu di perusahaan-perusahaan besar dan berkualitas untuk belajar disiplin, efisiensi, teknis dan manajerial. Salah satu hasil riset menyatakan bahwa lulusan Perguruan Tinggi Indonesia dikatakan belum siap pakai ke lapangan kerja, cuma siap terima gaji, karena jauhnya kesenjangan sistem dunia kerja dan sistem dunia pendidikan di Indonesia.
Kualitas SDM di kawasan Kotawaringin dan tekanan politik dalam bentuk “demonstrasi” adalah salah satu faktor yang menentukan cepat atau lambatnya Propinsi Kotawaringin terbentuk selain lobby politik dan ekonomi tentunya.

Opportunity
Tingginya angka pengangguran di kawasan Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat baik pengangguran terdidik maupun tidak terdidik tentunya menjadi masalah bagi kawasan ini. Terbentuknya Propinsi Kotawaringin tentunya membutuhkan tenaga PNS baru, ini merupakan salah satu solusi bagi banyaknya Sarjana lulusan dari Jawa yang asli dari Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat yang menganggur. Hal lainnya adalah dengan dibangunnya Sarana dan Prasarana baru untuk Propinsi baru, merupakan peluang usaha baru bagi Konsultan dan Kontraktor kawasan ini yang sekaligus juga mampu menyerap tenaga kerja.
Tingginya PAD Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat dapat lebih dirasakan oleh kawasan ini bila Propinsi Kotawaringin terbentuk dengan dibangunnya sarana umum seperti infrastruktur transportasi, telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, sosial. Sehingga diharapkan tidak adalagi daerah yang tidak dapat dicapai oleh pemerataan pembangunan. Karena selama ini tingginya PAD Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat tersebut harus dibagi untuk Kabupaten lainnya yang PAD-nya kecil di Propinsi Kalimantan Tengah.
Adanya ASEAN Economy Community(AEC) atau Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 sebagai kelanjutan dari ASEAN Free Trade Area(AFTA) yang digagas pada saat KTT ASEAN di Bali tahun 2003 dan dideklarasikan pada saat KTT ASEAN ke -13 di Singapura tanggal 20 november 2007 lalu, tentunya salah satu peluang bagus bagi Propinsi Kotawaringin. AEC ini boleh dikatakan Uni Eropa versi ASEAN, AEC bermakna liberalisasi aliran barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja trampil, dimana berbagai hambatan perdagangan seperti bea masuk maupun nonbea masuk diturunkan bahkan dihapus, sehingga faktor produksi diberi keleluasaan untuk bergerak. Lalu apa korelasinya dengan Propinsi Kotawaringin ? Bila ada Propinsi Kotawaringin didukung otonomi daerah yang baik dengan produksi komoditi utama kelapa sawit dalam bentuk CPO dengan volume sangat besar melalui dua Pelabuhan Laut Sampit dan Pangkalanbun tentunya dapat menentukan pasokan CPO kawasan ASEAN, mengingat diatas tahun 2010 produksi sawit Indonesia diperkirakan sudah melampaui Malaysia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia, dimana salah satu perkebunan sawit terbesar di Indonesia adalah Kawasan Propinsi Kotawaringin. Apalagi kalau CPO itu bisa diekspor dalam bentuk barang jadi minyak goreng dalam kemasan, tentunya akan menyerap tenaga kerja sekaligus solusi bagi pengangguran, bisa dibayangkan Propinsi ini akan jadi salah satu Propinsi terkaya di Indonesia. Kita lihat saja nanti, apakah setelah Propinsi Kotawaringin terbentuk bisa berperan pada AEC 2015 atau hanya bisa jadi tamu di kampung sendiri.
Kesempatan lain dengan adanya Propinsi Kotawaringin adalah melakukan program kerjasama dengan Propinsi dari Negara lain dalam bentuk program “Sister City”. Misalnya, kita lihat Program “Sister City” dalam bentuk Konservasi Hutan guna memerangi pemanasan global antara Kabupaten Malinau di Kalimantan Timur dengan Negara Bagian California, Amerika Serikat yang akan dilaksanakan Desember ini. Program “Sister City” ini penting sebagai tolok ukur kemajuan suatu daerah, karena pada saat persaingan bebas, kemajuan suatu daerah bukan lagi dibandingkan dengan daerah lainnya dalam satu Negara, melainkan dibandingkan ataupun disandingkan dengan daerah dari Negara lain.

Threat
Secara politis, tantangan pertama yang dihadapi masyarakat Kotawaringin dalam mewujudkan Propinsi Kotawaringin adalah Statement Yusuf Kalla pada halal bihalal lebaran di Makassar, yang mengatakan “Stop Pemekaran”. Sah-sah saja Yusuf Kalla berkata demikian, bisa jadi Yusuf Kalla tidak mau dipusingkan dengan anggaran baru untuk propinsi baru, yang bisa mengurangi konsentrasi pilpres 2009 Yusuf Kalla. Pernyataan “Stop Pemekaran” ini diamini pula oleh Gubernur Kalteng Teras Narang saat menghadiri ulang tahun Kabupaten Kotawaringin Barat, padahal dulu Teras Narang gencar memperjuangkan pemekaran kabupaten di Kalteng, pasca Tragedi Sampit 2001. Kenapa Teras Narang baru bicara setelah ada Statement dari wapres, karena jelas saat ini adalah “bulan madu” Teras jadi gubernur, setelah kenyang makan “asam garam politik” di DPR-RI. Dia tidak mau kehilangan dua penyumbang PAD terbesar Kalteng yaitu Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat. Padahal jelas, pemekaran daerah untuk suatu kawasan tidak ada aturan, maupun Undang-Undang yang melarang pemekaran, bila syarat dan kondisi terpenuhi.
Kita lihat saja nanti, Propinsi Kotawaringin yang didukung oleh Wahyudi (yang konon katanya berteman dekat dengan Menteri Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi sebagai sesama alumni Lemhanas) dan Pengusaha asli Sampit Drs. Majdi Filmansyah, MBA, (yang memiliki jaringan bisnis Pelayaran Internasional serta punya koneksi dengan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) Taufik Effendi, Ahmad Norman Zamili (Aster TNI), Bardiansyah (Setneg)) melawan kubu yang tidak ingin pemekaran. Siapa yang menang apakah Wahyudi dan Majdi Filmansyah bisa mewujudkan Propinsi Kotawaringin melawan Teras Narang, yang memiliki jaringan cukup kuat dan berpengalaman di DPR-RI. Peranan Teras Narang juga kelihatan dalam penentuan Ketua PDI-P Katingan sehingga dengan mendukung Drs. Duel Rawing (Bupati Katingan) sampai terpilih mendapatkan “perahu PDI-P” untuk pilkada Mei 2008 dengan menyingkirkan Drs. Yan Teng Lie (Wabup Katingan), inilah kenapa Kabupaten Katingan tidak ikut menyuarakan Propinsi Kotawaringin, karena Bupatinya sudah berada dalam genggaman Teras Narang.
Tantangan selanjutnya adalah penentuan ibukota propinsi, bila Propinsi Kotawaringin terbentuk, bila tidak ditangani dengan baik, malahan bisa menimbulkan persoalan baru bagi Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat. Ini bisa mengakibatkan disintegrasi Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat sehingga Propinsi Kotawaringin gagal terwujud.
Apapun tantangan dan masalah yang dihadapi demi terwujudnya Propinsi Kotawaringin, bila dihadapi bersatu, hati lapang, kepala dingin dan mata terbuka, tentunya semua masalah dan tantangan adalah kecil dan bisa diantisipasi.


Copyright ©2007, Written by someone behind kotawaringin@yahoo.com
http://propinsikotawaringin.blogspot.com/

Kamis, 15 November 2007

DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN

DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN
DUKUNG PROPINSI KOTAWARINGIN