Jumat, 14 Desember 2007

Otonomi Daerah (forward dari Beny Cahyadie A.M)

Otonomi Daerah dan Diskursus Pemekaran Wilayah Perbincangan diseputar wacana pemekaran wilayah (kabupaten/kota dan provinsi), akhir-akhir ini merupakan salah satu tema politik yang menggelembung dimasyarakat. Pergolakan seputar diskursus tentang pemekaran wilayah bahkan sudah sangat mengkristal dan mewacana dengan cepat, tajam, dan menimbulkan friksi politik yang keras. Maka tak heran isu ini menjadi bak bola salju, yang kian menggelinding khususnya dalam zona politik lokal bernama pemilihan kepala daerah (pilkada). Harus kita akui, bahwa ramainya perbincangan seputar pemekaran wilayah tersebut, sesungguhnya tidak terlepas dari keinginan kuat dari masyarakat lokal untuk mengadakan perubahan. Perubahan yang diarahkan melalui usaha-usaha pensejahteraan rakyat.
Maka selanjutnya, isu ini pun bersinergi dengan proses politik yang terjadi di republik ini. Misalnya ketika kampanye politik oleh para politisi yang sangat berkepentingan dalam meraup dukungan publik, baik dalam pemilu legislatif, pemilu presiden dan bahkan dalam pilkada yang lalu. Salah satu bentuk dari isu kampanye politik itu adalah dengan menyuarakan perlunya kesejahteraan rakyat untuk semakin ditingkatkan. Akan tetapi, isu ini kemudian disambut oleh kekuatan-kekuatan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Apakah itu tokoh masyarakat, kalangan kampus, maupun kelompok-kelompok pemuda dan kedaerahan. Sialnya, berkembangnya isu ini di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak ditimpali oleh elit-elit politik secara kelembagaan dengan mantap. Karena itu, isu ini kemudian bak bertepuk sebelah tangan. Boleh kita lihat, misalnya bahwa kekuatan yang paling consern terhadap pemekaran wilayah tersebut bukanlah para elit politik, melainkan kekuatan yang ada di masyarakat. Karena itu, sekalipun tekanan-tekanan isu tentang pemekaran ini besar seperti sekarang ini, itu adalah hasil dari kerja-kerja politik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat.
Sebagaimana isu lain yang nilai orisinalnya bersumber dari publik, maka isu pemekaran ini pun memiliki bentuk dan formulasi yang beraneka ragam. Beragam dan bervariasinya bentuk formulasi tersebut sangat berkaitan dengan corak masyarakat yang menyuarakannya. Sebagai sebuah isu yang menggelepas di masyarakat, tentunya berbagai pandangan datang menghampirinya. Isu ini pun menjadi bola panas. Perdebatan-perdebatan panjang kemudian digelar. Namun tetap tak bertepi. Hal inilah yang kemudian memunculkan problema pro dan yang kontra di masyarakat. Sebetulnya, perbedaan pendapat ini amatlah lumar, terutama dikaitkan dengan proses perkembangan demokrasi di tanah air. Akan tetapi perbedaan pendapat ini haruslah ditata, diformulasikan, sehingga berakhir dengan suatu kebahagiaan bersama. Kemudian timbul pertanyaan, apakah pemekaran wilayah adalah langkah yang tidak terpisahkan atau setidaknya didasarkan kepada keinginan untuk mensejahterakan rakyat? Atau apakah ini justru isu yang hanya permainan politik dari elit politik yang berkicau pada saat kampanye politik pada pemilu yang lalu. Tak ada jawaban secara pasti, hal ini memang patut dikritisi, akan tetapi aroma kesejahteraan rakyat begitu melekat kuat dalam isu ini. Karena itu, harus tetap diperjuangkan dan disuarakan dengan tanpa henti-hentinya.
Berkembangnya wacana pemekaran daerah, tidak terlepas dari pemberlakuan prinsip-prinsip otonomi daerah. Secara eksplisit didalam UU otonomi daerah tahun 2004, memang telah dengan jelas diamanatkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik. Pertama, otonomi daerah haruslah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Kedua, melalui otonomi daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik. Ketiga, bagaimana otonomi daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Sesungguhnya, sebelum isu pemekaran wilayah ini dikristalkan, ada beberapa hal yang harus menjadi media mengkritisinya. Media itu adalah dengan melihat indikator keberhasilan pembangunan daerah selama penerapan otonomi daerah, yang telah berusia enam tahun ini, sekaligus menjadi dasar dalam melakukan pemekaran. Secara sederhana, indikator didalam menilai kemajuan tersebut harus disandarkan kepada tiga aspek/kategori. Pertama, aspek ekonomi daerah. Apakah pembangunan yang terjadi selama enam tahun terakhir ini adalah pembangunan yang merangsang pertumbuhan ekonomi di masyarakat lokal. Hal ini perlu dijalankan dengan melakukan kajian mendalam, sehingga kelihatanlah seberapa besar pengaruh otonomi daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun secara regional, untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian akan bisa kita ketahui bahwa apakah otonomi daerah selaras dengan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Seperti apakah kekuatan ekonomi dari daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah yang hendak dimekarkan. Selanjutnya, potensi-potensi apa yang bisa dimaksimalkan dalam membangun ekonomi daerah. Ini perlu dilakukan, mengingat pertimbangan ekonomi adalah salah satu unsur utama didalam memandirikan suatu daerah. Kedua, aspek pelayanan publik. Dalam konteks ini, harus dinilai seberapa dekat pemerintah daerah dengan masyarakat, yang tercermin dalam urusan-urusan pelayanan publik yang terbuka, efisien dan efektif. Apakah publik merasa dipuaskan melalui pelayanan pemerintah lokal, atau justru pemerintah lokal mengharapkan pelayanan dari masyarakat. Apakah mental-mental KKN dan primordialisme masih sangat kental dalam urusan-urusan publik. Masih terdapat ketidakadilan, kemudian politik kongkalikong di antara elit lokal masih kerap terjadi. Ketiga, aspek pembangunan demokrasi politik.
Menjadi penting juga mengkaitkan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan upaya-upaya pelembagaan demokrasi ditingkat lokal. Potret ini bisa terlihat dari beberapa kritiskah rakyat dalam melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal? Atau seberapa besarkah kontribusi dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan strategis di daerahnya ? Singkatnya, semangat untuk ber-otonomi daerah jangan seolah-olah menjadi hilang ditelan wacana pemekaran. Optimisme yang dulunya menggelembung-dimana otonomi daerah, pilkada dan pluralisme adalah suatu yang saling bersinergi-perlahan jangan sampai mengempis. Desentralisasi (otonomi daerah) akhirnya menjadi pilihan absolut, yang hampir tak ada kekuatan yang membantahnya. Jadilah isu otonomi daerah menjadi tema yang sentral dalam jagat perpolitikan kita, namun seolah ambigu di tengah gumpalan politik pemekaran. Akan tetapi, kini, hakikat otonomi daerah harus terimplementasi dengan baik, bukan malah berputar di arena wacana termasuk wacana pemekaran daerah. Sumber (Oscar Siagian,pengamat politik KDAS)

Tidak ada komentar: